PERKEMBANGAN
SOSIAL-EMOSIONAL PADA MASA KANAK-KANAK AWAL (2-6 TAHUN)
Merujuk dari buku Perkembangan Peserta Didik
karangan Izzaty, R. E., dkk (2008:92), banyak keluarga dan pendidik anak usia
dini menekankan pentingnya perkembangan sosial selama masa kanak-kanak awal
atau tahun-tahun prasekolah. Aspek-aspek perkembangan sosial emosional
anak-anak prasekolah dapat menjadi bagian integral dari perkembangan area
lainnya, seperti perkembangan aspek kognitif dan perkembangan motorik.
1.
Elemen-elemen Sosial dari Bermain dan Implikasinya pada Pendidikan
Selama masa prasekolah, banyak anak
yang mulai mengadakan hubungan dekat dengan orang-orang nonkeluarga. Pada saat
anak menjelajahi dunia prasekolah, mereka mengalami serangkaian situasi sosial
yang baru dan bervariasi. Beberapa situasi baru berhubungan dengan bermain.
Pada masa prasekolah ada peralihan
pola bermain anak, dari permainan soliter ke permainan paralel, yaitu anak
berdekatan dengan orang-orang lain ketika mereka bermain. Anak prasekolahpun
akan dapat terlibat pada permainan kooperatif dengan anak-anak lainnya, seperti
pada permainan sosiodrama, akan tetapi mereka juga dapat merasa bahagia untuk
melakukan permainan soliter dalam jangka waktu yang lama. Setiap jenis dari
permainan ini sama berharganya, oleh karena itu perlu disediakan sumber-sumber
yang memfasilitasi berbagai pengalaman bermain secara luas.
Selama masa prasekolah, permainan
sosiodrama (bermain pura-pura) menjadi sangat kompleks dan imajinasi anak akan
berkembang secara luar biasa. Pada awalnya permainan drama berkisar pada
hal-hal yang familiar bagi anak seperti waktu makan, mandi dan sebagainya.
Dalam permainan ini sering terjadi imitasi yang mendetil terhadap perilaku
orang lain terutama orangtua atau pendidiknya.
Hal lain yang penting ialah anak
membutuhkan waktu, ruang, dan kebebasan untuk mengembangkan permainan mereka,
agar seluk beluk dan detil-detil permainan tidak terbatasi. Beberapa permainan
drama seperti superhero dapat mengarah ke perilaku agresi anak. Tetapi makin
dilarang, akan membuat permainan itu makin atraktif. Oleh karena itu dengan
penekanan pada aspek-aspek positif dari permainan tersebut akan lebih efektif
daripada sekedar melarangnya.
Sebagai pendidik anak usia dini
perlu mengetahui bahwa bermain adalah medium/sarana belajar yang luar biasa
ampuhnya bagi anak-anak kecil. Permainan dengan memberi pengalaman terbuka
seperti bermain tanah liat akan lebih bermanfaat daripada permainan yang
mengharuskan anak menghasilkan suatu produk yang telah ada
ketentuan-ketentuannya. Sebagai pendidik kita juga dapat mengetahui lebih
banyak tentang abilitas anak dengan mengamati proses bermain anak daripada
sekedar menjatuhkan vonis kepada anak dengan predikat kegagalan ketika mereka
tidak berhasil memproduksi secara tepat produk yang disyaratkan.
2.
Otonomi dan Inisiatif yang Berkembang, serta Implikasinya pada
Pendidikan
Anak-anak prasekolah yang awalnya
hanya memperhatikan kebutuhan dan keinginan sendiri dengan ketergantungan yang
kuat pada pemeliharaan keluarga beralih ke tingkat kemandirian yang lebih
tinggi dan penguasaan terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat ketika anak
dapat memperhatikan kebutuhan orang lain, dan dalam proses perkembangan
keterampilan untuk bekerjasama dengan orang lain.
Menurut Erikson, anak prasekolah
dalam perkembangan sosialnya berada pada peralihan dari tahap “otonomi vs rasa
malu dan ragu-ragu” ke tahap “inisiatif vs rasa bersalah”. Sebagai contoh; anak
pada tahap ini umumnya bertahan ingin mengerjakan segala sesuatu oleh dirinya
sendiri dan berinisiatif untuk merencanakan dan bekerja mencapai tujuannya.
Sebagai pendidik, perlu mendorong
anak menggunakan inisiatifnya pada pengalaman sehari-hari, misalnya menentukan
pilihan menu pada waktu makan, serta fleksibilitas melakukan aktivitas dalam
rumah ataupun di luar rumah.
3.
Perasaan Tentang Diri (self) dan Implikasinya pada
Pendidikan
Pada saat berinteraksi dengan orang
lain, anak prasekolah mengembangkan perasaantentang dirinya atau sering disebut
konsep diri. Anak prasekolah bila diminta untuk menggambarkan diri mereka
cenderung menggunakan tanda-tanda fisik sebagai acuan. Misalnya,”Saya berusia
4,5 tahun”, “Saya seorang anak perempuan”, “Rambut saya panjang”, dan
sebagainya. Tetapi pada saat-saat ini juga anak makin sadar akan innerself-nya,
yang isinya pikiran-pikiran pribadi dan imajinasitentang diri mereka sendiri.
Berkaitan dengan konsep diri, anak
akan mengembangkan self-esteem (penghargaan diri), yaitu perasaan
tentang seberapa diri mereka berharga, meliputi bidang prestasi akademik,
keterampilan sosial, dan penampilan fisik mereka. Anak-anak dengan self-esteem
positif biasanya percaya diri, berprestasi, mandiri, dan ramah; sedangkan anak
dengan self-esteem negatif digambarkan sebagai anak yang ragu-ragu,
tidak mampu, tergantung, dan menarik diri.
Tugas orang dewasa atau pendidik
ialah membantu anak untuk mengembangkan perasaan diri yang realistik dan
seimbang tentang diri mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan mendiskusikan
bersama anak tentang apa yang dapat mereka kerjakan, apa yang tidak;
kesalahan-kesalahan yang mereka buat; prestasi yang dicapai; serta
tantangan-tantangan yang ada dan diterima anak. Jangan melakukan pemujian yang
berlebihan terhadap anak.
4.
Hubungan Teman Sebaya, serta Implikasinya pada Pendidikan
Anak yang populer umumnya mampu
menginterpretasi, memprediksi, dan merespon perilaku orang lain. Mereka disukai
dan dicari anak-anak lain sebagai teman, sehingga terlibat dalam interaksi yang
semakin kompleks. Interaksi demikian dapat makin meningkatkan kemampuan anak,
tidak hanya dalam keterampilan sosial, tetapi juga kemampuan kognitifnya.
Sementara anak yang ditolak dan
diisolasikan oleh anak-anak lain terbukti memiliki keterampilan sosial lebih
rendah, dan berakibat pada interaksi yang kurang kompleks dan kurang
menyenangkan. Anak prasekolah yang ditolak dapat terjerat dalam lingkaran
penolakan yang terus menerus hingga tahun berikut dalam perkembangannya.
Apabila anak mengalami kesulitan
bergabung dengan teman-teman sebayanya, pendidik dapat bertindak sebagai model
dengan memberikan contoh bagaimana cara berpartisipasi dan bergabung dengan
kelompoknya.
5.
Konflik Sosial, serta Implikasinya pada Pendidikan
Apabila seorang anak tidak dapat
mengatasi konflik sosial secara verbal (lisan), maka ia akan beralih
menggunakan kekerasan fisik untuk mengatasinya. Dalam hal ini, pendidik perlu
membantu anak bagaimana cara mengungkapkan perasaannya secara verbal, dan
mengatasi konflik sosial yang ada secara verbal pula. Misal, “Harap Jangan
mengambil balok biru itu dari saya, saya membutuhkannya untuk membuat bangunan
rumah”. Dengan demikian pendidik telah membantu anak menyatakan perasaannya,
dan mengatasi situasi konflik sosial dengan metode yang baik.
6.
Perilaku Prososial, dan Implikasinya pada Pendidikan
Perilaku prososial terlihat apabila anak menunjukkan empati atau
antusiasme. Anak-anak prasekolah sering menunjukkan perilaku yang agresif untuk
mempertahankan permainannnya.
Sebagai pendidik penting untuk memberikan model tentang perilaku
prososial kepada anak-anak tersebut. Salah satu kunci penting untuk memahami orang
lain ialah kemampuan untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku orang dengan
menggunakan sudut pandang yang berbeda. Dengan bermain permainan sosiodrama,
pendidik dapat mengajarkan anak untuk berfikir dari sudut pandang orang lain,
yang tidak semata-mata dari sudut pandangnya sendiri.
7.
Ketakutan-ketakutan Anak beserta Implikasinya pada Pendidikan
Sejak dini, anak kecil sudah mampu merasa dan mengekspresikan
emosinya, seperti senang, marah, susah, dan takut. Pada tahun-tahun berikutnya,
anak mengalami emosi lain seperti malu, rasa bersalah, dan bangga. Pada masa
prasekolah, anak tidak hanya mengembangkan emosi-emosi tersebut, tetapi juga
cara mengendalikannya. Pada masa ini juga anak sudah mampu menggunakan bahasa
untuk memberi nama pada emosi yang dialami. Mislanya mengatakan “saya takut”.
Untuk mengendalikan emosinya, pendidik dapat membantu anak dengan cara mendiskusikan
bagaimana cara mengendalikannya. Mendiskusikan emosi yang ada dengan cara
membicarakan ketakutan-ketakutan tersebut, serta memberikan anak rasa aman.
8.
Pemahaman Gender dan Implikasinya pada Pendidikan
Pada usia kurang lebih 2 tahun, anak
menggunakan istilah yang berkaitan dengan gender seperti “anak laki-laki, anak
perempuan, ayah, ibu”, dan cenderung menunjukkan kesenangannya pada mainan yang
sesuai dengan jenis kelaminnya.
Menjelang usia prasekolah, anak
sering menerapkan sejumlah hukuman-hukuman gender seperti “Anak perempuan tidak
dapat menjadi polisi”. Hukuman-hukman demikian sering mencerminkan pemahaman
yang kurang benar tentang perbedaan biologis antara wanita dan laki-laki, dan
sekaligus merupakan infromasi yang stereotip.
Pendidikan anak usia dini mempunyai
peranan penting untuk membantu anak mengembangkan kesasaran akan gender mereka
masing-masing, dan memberikan lingkungan dimana stereotip tentang gender
ditentang. Tidak kalah pentingnya ialah medorong anak untuk berpartisipasi dalam
pengalaman yang dapat melibatkan lintas gender.
TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN MASA KANAK-KANAK AWAL
1.
Belajar
perbedaan dan aturan-aturan jenis
kelamin.
2.
Kontak perasaan
dengan orang tua, keluarga, dan orang lain.
3.
Pembentukan
pengertian sederhana, meliputi realitas fisik dan sosial.
4.
Belajar tentang
apa yang benar dan apa yang salah.
DAFTAR
RUJUKAN
Izzaty, R. E.,
dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Presss.
0 komentar:
Posting Komentar